16. Dezember 2004

Bali - Traum und Wirklichkeit

Vortrag von Wolfgang Sehrt, Präsident der DIG, im Städtischen Museum am 15. Dez. 2004

Als Baliliebhaber und Indonesienkenner bekannt, lag Herrn Sehrt Bali stets besonders am Herzen, diese Insel, die auch heute noch ihre Ursprünglichkeit bewahrt hat. In seinem Vortrag berichtete er, wie er Bali kennen gelernt hat, insbesondere die Liebenswürdigkeit der Menschen, das Familienleben, die Traditionen, Tempelfeste und Hahnenkämpfe. Ein balinesischer Tanz ergänzte den Vortrag.

12. Dezember 2004

Adventsfeier, Altstadtrathaus, 11. Dez. 2004

3. Dezember 2004

40 Jahre DIG - Festakt im Städtischen Museum am 27. Nov. 2004



Harald Duin schreibt in der Braunschweiger Zeitung vom 29. Nov. 04:
Klang der "Goldblüte" beim Jubiläum. Deutsch-Indonesische Gesellschaft vor 40 Jahren gegründet – Fest im Städtischen Museum

"Das hat es im Städtischen Museum noch nicht gegeben. Jeder Besucher der Jubiläumsveranstaltung "40 Jahre Deutsch-Indonesische Gesellschaft Niedersachsen" erhielt als Geschenk eine balinesische Maske.
Gleichzeitig wurde die Ausstellung "Souvernirs einer fürstlichen Hochzeitsreise" eröffnet. Sie zeigt, wie berichtet, Exponate aus der ethnographischen Sammlung Herzog Johann Albrechts.

Dieser war Ende 1909 mit seiner ihm frisch angetrauten Prinzessin Elisabeth zu Stolberg-Rossla zu einer mehrmonatigen Hochzeitsreise durch Südostasien aufgebrochen. Das Paar kehrte mit der Transsibirischen Eisenbahn zurück. Im Gepäck Geschenke und Souvenirs: farbenprächige Batiken aus Java, kostbare Seiden aus Japan, Masken, Zauberbücher und (mit Echtheitszertifikat) Totenschädel von Menschen, die von Kopfjägern getötet wurden.

Aus Berlin war das Gamelan Ensemble Puspa Kencana (Goldblüte) zur Feier gekommen. Am besten hat uns der Jaipong-Tanz gefallen, der den Wunsch symbolisiert, sich mit einer geliebten Person zu treffen. Freilich können diese Glockenklänge auf die mitteleuropäische Psyche so einlullend wirken, dass aus der Verabredung möglicherweise nichts wird.

Gastgeber und Gäste sagten sich bei diesem Ereignis viele Worte der Wertschätzung. Wolfgang Sehrt, Präsident der Deutsch-Indonesischen Gesellschaft, sprach frei, sprach von der Kunst, auch große Entfernungen druch freundschaftliche Bindungen zu überbrücken.
Bürgermeisterin Friederike Harlfinger sagte unter anderem: "Aufgrund der frühen und engen Verbindungen zwischen Braunschweig und Indonesien kann es nicht überraschen, dass die Deutsch-Indonesische Gesellschaft ihren Sitz in Braunschweig hat – eine Tatsache, auf die wir als Stadt ein klein wenig stolz sind."

Minister Igde Djelantik in seiner Rede: Die indonesische Bevölkerung kämpfe immer noch mit den Folgen einer schweren ökonomischen Krise. "Da sind uns Freunde im Ausland wie die Deutsch-Indonesische Gesellschaft wichtiger denn je." Djelantik bedankte sich bei Dr. Martin Eberle, dem Leiter des Städtischen Museums, für die "faszinierende Ausstellung, in welcher wir die einmalige Gelegenheit erhalten, wertvolle Souvenirs aus einer vergangenen Zeit bewundern zu können".

2. Dezember 2004

Perjalanan Bulan Madu Raja Braunschweig ke Ranah Minang

Padang Ekspres Berita / Opini
* Oleh Dra Mimi A Landri Schlueter*
Oleh Redaksi Kamis, 02-Desember-2004, 03:19:31

”Bangsa Indonesia masih sibuk berperang melawan krisis ekonomi yang berat, dan saat ini persahabatan dengan luar negeri seperti DIG adalah merupakan hal yang paling penting buat kami!,” demikian ucapan Bapak I Gde Djelantik, Duta Besar sementara Indonesia buat Jerman dalam kata sambutannya dalam acara pembukaan pameran souvenir Ethnology raja (Herzog) Johann Albrechts dari Braunschweig - Jerman, pada malam Minggu tanggal 27 November 2004 yang lalu.

Disambut dengan senyuman manis dan ucapan Selamat Datang dari Ariane dan Falko yang berpakaian adat Minang serta Karl dan Bima yang berpakaian adat Jawa, dan didampingi oleh Lothar yang berpakaian adat Belanda membuat setiap para undangan yang ingin mengikuti acara pembukaan itu tertegun dan kagum memandang mereka di pintu masuk museum.

Acara pembukaan pameran ini juga sekaligus merupakan salah satu rangkaian acara jubileum ke-40 Persatuan Indonesia Jerman (DIG - Deutsch Indonesische Gesellschaft) dan promosi Kota Braunschweig sebagai pelaksana pameran budaya se-Eropah di tahun 2010 nanti.

Pameran Ethnology ini mengisahkan perjalanan bulan madu Herzog Johann Albrechts yang menikahi istrinya Putri Elisabeth zu Stolberg-Rossla diakhir tahun 1909 kebeberapa negara di Asia Timur Jauh selama beberapa bulan lamanya, salah satunya ke Indonesia.

Pasangan penganten baru ini memulai perjalanannya langsung ke Sumatera dengan memasuki tanah Minangkabau untuk pertama kalinya. Di sini mereka habiskan beberapa hari untuk menikmati alamnya yang indah serta mengenal sejarah dan kebudayaan Minang.

Ini terbukti dalam tulisan beliau di buku hariannya dan kumpulan-kumpulan souvenir yang diperoleh dari para sultan di kerajaan Minangkabau saat itu. Seperti model rumah adat Minang dengan atap ijuk dengan ukuran yang cukup besar yang dipajang langsung di dekat pintu masuk museum, dan juga model rumah gadang pakai rangkiang yang terbuat dari perak berasal dari Koto Gadang serta koleksi pakaian adat lengkap dengan asesorisnya.

Terdapat kesamaan antara Minangkabau dengan Niedersachsen (Jerman Utara), seperti konstruksi rumah gadang yang hampir sama dengan konstruksi Fachwerkhaus (rumah tradisional di Nierdersachsen); di mana konstruksinya sama-sama terbuat dari kayu yang di antaranya ditutupi dengan kayu atau bambu, sedangkan Fachwerkhaus ditutupi dengan tanah liat dan jerami.

Dalam bukunya, raja Albrechts juga mengungkapkan bahwa orang Minang ini pintar dan licik, seperti dalam taktik perang melawan Jawa dengan cara mengadu kerbau. Orang Minang memilih anak kerbau yang dipasangkan parang sebagai tanduknya dan membiarkannya berpuasa sebelum bertarung melawan kerbau orang Jawa yang besar dan perkasa. Akhirnya kerbau perkasa ini mati ditanduk-tanduk oleh anak kerbau orang Minang yang sedang haus dan kelaparan mencari susu induknya. Dengan menangnya kerbau tersebut tanah Minang pun mendapat julukan Menang Kerbau yang orang Minang sendiri menyebutnya Minang Kabau.

”Kepintaran dan kecerdasan orang Minang ini sampai sekarang masih terlihat dengan kelicikan dan kelihaian mereka di mana saja, dan orang Minang sangat terkenal sebagai orang dagang,” ungkap Bapak Dr Martin Eberle, Kepala Museum Negara Braunschweig, dalam kata sambutannya.

Perjalanan bulan madu ini kemudian diteruskan ke tanah Batak, yang terlihat dari koleksi rumah adat Batak dan ulos yang diperagakan di museum itu. Setelah itu Herzog dan istrinya melanjutkan perjalanan ke Nias dan terus ke Jawa selanjutnya ke Siam dan akhirnya kembali ke Jerman dengan kereta api trans Siberia.

Acara pembukaan ini dimeriahkan juga dengan menampilkan kesenian gamelan Sunda; Puspa Kencana dari Berlin dengan Tari Jaipong yang membuat para undangan terbuai, seperti ibu Friederike Harlfinger, walikota Braunschweig dan bapak Gunter Nerlich, honoral konsul Jerman buat Indonesia serta bapak Wolfgang Sehrt, presiden DIG Niedersachsen yang dengan rasa bangga memperlihatkan foto dan surat balasan dari bapak Soekarno, presiden RI yang pertama yang diterimanya sewaktu berumur 16 tahun. Semenjak itu bapak Sehrt tidak bisa lagi dipisahkan dengan Indonesia dan hampir setiap tahun berlibur ke Indonesia.

Pameran ini akan berlangsung sampai akhir Februari 2005 dan diantaranya juga akan diisi dengan pembacaan cerita-cerita legenda Indonesia seperti, Malin Kundang, Sangkuriang, dan lain sebagainya, tidak ketinggalan tentunya juga penampilan Tari Indang Pariaman dan Tari Jer-jeran dari Banyuwangi yang akan dibawakan oleh anak-anak Indonesia yang bermukim di Braunschweig buat tamu penting (VIP) di Rathaus (kantor walikota) Braunschweig, tanggal 11 Desember 2004 ini.

”Dengan adanya DIG ini, kita akan selalu menjaga kehangatan hubungan Bandung - Braunschweig dan Padang - Hildesheim, tutur bapak Djelanti di akhir katanya.

Pembukaan pameran ini diakhiri dengan menikmati makanan asli Indonesia dan pembagian masker Bali kepada setiap undangan yang mau pulang. Terakhir terbentuklah satu keputusan bersama bahwa para undangan dan anggota DIG berniat untuk mengunjugi dan berlibur bersama ke Indonesia.

*Dra Mimi A Landri Schlueter, dulu Guru SMAN Sungai Limau Pariaman dan semenjak 13 tahun tinggal di Jerman
Padang Ekspres : http://www.padangekspres.com/

5. September 2004

Picknick, Stadtparkrestaurant, 4. Sept. 04

1. September 2004

Sommerfest, Möma, 29. Aug. 04

28. August 2004

Wayang Kulit, 27. Aug. 2004

30. Juni 2004

Pasar Malam Besar, den Haag, 19.-20. 6. 04

Reisebericht Pasar Malam Besar, Den Haag, Juni 04

Reisebericht über die Reise zum Pasar Malam Besar (Großer Nachtbasar)
in Den Haag mit der DIG vom 19.6.2004-20.6.2004
(von Ariane Medina Schlüter)

Am Samstag den19.6. treffen sich einige Mitglieder der DIG (Deutsche Indonesische Gesellschaft) um 9:00 Uhr an der Langen Straße. Es sind 18 Personen mitgefahren. Die beiden Fahrer, mit Namen Roland Schlüter und Teja Pabst, sind so nett gewesen und haben uns die 6-7 stündige Strecke von Braunschweig bis zu einem Vorort von Den Haag gefahren, wo unser Hotel "Golden Tulip" stand. Als wir ungefähr um 13:00 Uhr über die Grenze von Holland gefahren sind, haben wir uns alle und besonders die Fahrer, sich für eine gute Stunde erholen können. Nachdem alle wieder in den Bussen untergebracht wurden, dauerte die Fahrt noch mal ca. 2 Stunden bis zu unserem Hotel. Wir haben im Hotel eingecheckt und hatten 15 Minuten Zeit uns frisch zu machen oder das Hotel zu bewundern.
Um ungefähr 16:30 Uhr fuhren wir zum Pasar Malam, mit der Straßenbahnlinie 6. Um ca. 16:45 Uhr kamen wir an. Wir machten noch einige Fotos und hatten ein kleines Problem mit den Tickets. Wir kamen erst nicht rein, aber dann schafften wir es doch noch rein zu kommen. Wir teilten uns in kleine Gruppen auf und hatten von 17:00-21:00 Uhr, 5 Stunden Zeit uns alles anzusehen. Es gab viele Verkaufsstände. Nicht nur Indonesische, sondern auch aus anderen Ländern wie zum Beispiel Australien und Indien. Es waren nicht nur Souvenirs zu kaufen, sondern auch indonesische Schattenspiele zu sehen. Alles war in verschiedene Zelte aufgeteilt, die zu einem großen Zelt verbunden wurde. Zum Beispiel ein Zelt wo man sich zum Essen hinsetzen konnte und eins für Souvenirs.
Um etwa 21:00 Uhr trafen sich alle wieder in der Nähe des Ausgangs (mit vollem Bauch und genug eingekaufter Souvenirs). Als wir wieder zusammen waren fuhren wir gemeinsam mit der Straßenbahn zurück ins Hotel. Einige trafen sich noch in der Bar um einen Drink zu nehmen und sich über den gelaufenen Tag und das Programm des nächsten Tages zu unterhalten.

Am Sonntag den 20.6.sahen sich alle morgens im Restaurant beim Frühstück wieder. Nach dem Frühstück haben wir aus dem Hotel ausgecheckt und unser Gepäck in die Busse verstaut.
Dann stiegen wir ein und fuhren zur Innenstadt Den Haags. Frans van der Wees erklärte uns alle Sehenswürdigkeiten der Stadt. Er ist ein guter Bekannter von einigen Mitglieder der DIG. Wir konnten uns das Haus von Prinz William ansehen (leider nur von Außen), das wie eine gewöhnliche Wohnung in der Stadt von Den Haag steht. Nachdem alles erklärt und gesehen wurde, sind alle selbständig shoppen gegangen und haben sich die Stadt angeschaut. Nach 2 Stunden trafen wir wieder am Flohmarkt und gingen zu den beiden Bussen.
Alle verabschiedeten sich von Frans und bedankten sich für seine Hilfe und die Stadtführung.
Gegen 15:00 Uhr fuhren wir zurück. Nachdem wir über die Grenze von Deutschland gefahren waren, trennten sich beide Busse und alle wurden nach hause gebracht.

Ich habe mich sehr über die Reise gefreut und würde so was gern wieder machen.

Geschrieben von Ariane Medina Schlüter (12 Jahre)